Selasa, 22 November 2011

KOTA KU MAJALENGKA KU

Kabupaten Majalengka, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,Indonesia. Ibukotanya adalah Majalengka. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, serta Kabupaten Sumedang di barat.
Kabupaten Majalengka terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan.13 kelurahan  tersebut yaitu Babakanjawa, Cicenang, Cicurug, Cigasong, Cikasarung, Cijati, Majalengka Kulon, Majalengka Wetan, Munjul, Simpeureum, Sindangkasih, Tarikolot dan Tonjong. Pusat pemerintahan di Kecamatan Majalengka. Kantor Bupati terletak di Pendopo, selatan dari Alun-alun Majalengka berdekatan dengan Masjid Agung Al Imam.
    Topografi
Bagian utara wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian selatan berupa pegunungan. Gunung Ciremai (3.076 m) berada di bagian timur, yakni di perbatasan dengan Kabupaten Kuningan. Gunung ini adalah gunung tertinggi di Provisi Jawa Barat, dan merupakan taman nasinoal, dengan nama Taman Nasional Gunung Ciremai

Trasportasi

Pada tahun 2010 direncanakan Bandara Internasional Majalengka akan mulai dibangun. Majalengka dilintasi jalan provinsi (jalur Cirebon-Sumedang-Bandung). Dahulu kabupaten ini dilintasi jalur kereta api Cirebon-Palimanan-Kadipaten, namun saat ini tidak difungsikan lagi.
Jalur utama di Ibukota kabupaten Majalengka adalah Jalan Kyai Haji Abdul Halim, yang membelah kota Majalengka dan berujung di Perempatan Cigasong, sebagai jalan yang paling di perhatikan oleh pemerintah Kabupaten Majalengka Jalan ini selalu di Perluas setiap akan memasuki Hari Raya Idul Fitri atau hari besar lain nya. oleh karena itu, banyak cabang perusahaan yang menetap di pinggiran jalan ini. 

wisata budaya

a. Museum Talaga Manggung

Museum Talaga Manggung berada di Desa Talaga Wetan, Kecamatan Talaga. Dimana jarak yang harus ditempuh untuk menuju ke museum ini yaitu +26 km dari pusat kota Majalengka. Akses menuju lokasi tersebut sudah baik, dimana tidak hanya bisa di tempuh oleh kendaraan pribadi melainkan dapat di tempuh oleh angkutan umum seperti Maja – Cikijing, Cikijing – Bandung dan sebagainya. Banyaknya peninggalan sejarah dari Kerajaan Talaga Manggung seperti kereta kencana, peralatan perang, dan alat kesenian, yang menjadi daya tarik tersendiri, dan adanya adat memandikan perkakas yang rutin dilaksananakan setahun sekali. Pengunjung yang datang kelokasi wisata budaya ini pada umumnya pelajar. Untuk tiket masuk pada lokasi wisata budaya ini tidak ada ketentuan biaya yang harus di keluarkan hanya sebatas sumbangan sukarela. Serta masih kurangnya fasilitas penunjang yang ada di Museum Talaga Manggung.
Selain Museum Telaga Manggung, di Kabupaten Majalengka terdapat dua tempat bersejarah lainnya seperti Monumen Perjuangan Kawunghilir (Ceper, Baki tempat sirih, peti kayu besar, dan senjata) yang berada di Desa Cigasong dan Tugu Peringatan Riwayat Bangun Rangin yang berada di Kecamatan Jatitujuh.

b. Rumah Adat Penjalin

Kabupaten Majalengka memiliki Rumah Adat Penjalin yang berada di Desa Panjalin Kidul , Kecamatan Sumberjaya yang memiliki jarak tempuh +27 Km dari pusat Kota Majalengka dengan luas +100 m2. Rumah Adat Panjalin ini merupakan peninggalan sejarah atau objek wisata budaya pada masa lampau dari Eyang Sanata, Rumah Adat Panjalin ini hampir sama dengan rumah Adat Minahasa, Rumah Adat Panjalin pada masa dulu di beri nama alas panjalin yang artinya “hutan rotan”. Rumah adat ini hampir punah karena peninggalan benda-benda yang ada sudah tidak ada karena kurangnya perhatian dari pemerintah setempat dan kurangnya pengelolaan. Akses menuju lokasi rumah adat panjalin ini tidak sulit namun kondisi jalan menuju lokasi tersebut kurang baik dan tidak adanya angkutan umum yang menuju lokasi wisata budaya tersebut. Pengunjung yang datang ke Rumah Adat Panjalin masih ada meskipun tidak terlalu banyak, di hari-hari tertentu seperti malam jumat adanya pengunjung yang menginap di Rumah Adat Panjalin tersebut. Tidak adanya fasilitas penunjang yang terdapat di Rumah Adat Panjalin. Untuk dapat masuk ke rumah adat panjalin iini tidak ada pungutan biaya atau tidak di kenakan tiket.

c. Hutan Lindung Patilasan Prabu Siliwangi

Hutan Lindung Patilasan Prabu Siliwangi berada di Kelurahan Pajajar, Kecamatan Rajagaluh dengan luas mencapai +3 Ha yang dibangun pada tahun 2000/2001. Jarak dari pusat Kota Majalengka menuju lokasi objek wisata  +21km. Patilasan Prabu Siliwangi pada zaman dahulu merupakan suatu tempat peristirahatan Prabu Siliwangi dan konon katanya menurut masyarakat sekitar merupakan tempat menghilangnya Prabu Siliwangi. Dalam kawasan wisata ini terdapat dua talaga (Talaga Emas dan Talaga Pancuran) yang dianggap airnya suci oleh masyarakat sekitar dan pengunjung, sehingga sebelum melakukan ritual di patilasan tersebut pengunjung diharuskan mandi bersih di dua talaga tersebut. Selain talaga dan patilasan Prabu Siliwangi, dikawasan wisata ini juga terdapat pohon bambu peninggalan soekarno yang dari tahun ke tahun berjumlah 5 buah (tumbuh 1, mati 1) serta adanya kolam pemandian bagi pengunjung. Selain keindahan alam, pengunjung dapat menyaksikan kera-kera liar di sekitar kawasan ini dan berbagai jenis ikan langka yang terdapat di balong Cikahuripan. Selain itu di kawasan ini terdapat arena outbond (camping), kolam renang dan situ cipadung yang berbatasan langsung dengan Desa Indrakila Kecamatan Sindang.

d. Makam Buyut Kyai Arsitem
Terletak di Desa Sumber Wetan Kecamatan Jatitujuh dengan jarak tempuh +37 Km dari pusat Kota Majalengka yang memiliki luas +450 m2. Objek wisata ini merupakan wisata budaya (ziarah) yang merupakan makam Buyut Kyai Arsitem dipercaya oleh masyarakat akan mendapat berkah setelah berziarah ke makam tersebut. Makam ini ada hubungannya dengan sumur sindu, setiap pengunjung yang datang harus mandi di sumur sindu untuk membersihkan atau mensucikan diri kemudian berziarah ke Makam Buyut Kyai Arsitem. Akses menuju lokasi tersebut kurang baik seperti jalan yang rusak dan belum adanya angkutan umum yang menuju lokasi tersebut. Pengunjung yang datang ke tempat ini tidak hanya dari Kabupaten Majalengka melainkan dari kabupaten-kabupaten di sekitarnya seperti dari Kabupaten Indramayu.
e. Makam Eyang Natakhusuma

Eyang Natakhusuma merupakan tokoh sejarah kebudayaan pada masa kerajaan Talaga Manggung. Makam Eyang Natakhusuma Terletak di Desa Talaga Wetan Kecamatan Talaga dengan jarak tempuh +26 Km dari pusat Kota Majalengka yang memiliki luas +2 Ha. Akses menuju lokasi Makam Eyang Natkhusuma kurang baik dimana kondisi jalannya berupa jalan tanah. Fasilitas yang ada di lokasi tersebut  masih kurang memadai seperti lahan parkir dan fasilitas lainnya. Pengunjung yang datang untuk berziarah ke lokasi tersebut bukan hanya dari Kabupaten Majalengka saja melainkan dari luar Kabupaten Majalengka seperti dari Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu.
f. Makam Buyut Israh
Terletak di Desa Sukasari Kidul Kecamatan Argapura dengan jarak tempuh +15 Km dari pusat Kota Majalengka yang memiliki luas +2 Ha. Akses menuju lokasi Makam Buyut Israh kurang baik dan belum adanya angkutan umum yang menuju lokasi tersebut, melainkan hanya ada ojek. Pengunjung yang datang ke Makam Buyut Israh pada hari biasa hanya beberapa orang saja, namun pada bulan tertentu seperti bulan rayagung pengunjung yang datang ke lokasi terebut bisa mencapai 500 orang/hari, dan adanya sebuah hajat yang disuguhkan oleh pengelola makam Buyut Israh tersebut. Fasilitas dilokasi tersebut hanya terbatas seperti hanya ada toilet, dan musola. Pada umumnya pengunjung yang datang hanya untuk berziarah dan meminta keberkahan.
g. Sumur Sindu
Terletak di Desa Sumber Wetan Kecamatan Jatitujuh dengan jarak tempuh +37 Km dari pusat Kota Majalengka yang memiliki luas +150 m2. Objek wisata ini merupakan peninggalan budaya yang merupakan sebuah sumur keramat yang airnya dipercaya oleh masyarakat sekitar untuk membersihkan atau mensucikan diri. Akses menuju lokasi tersebut kurang baik seperti jalan yang rusak dan belum adanya angkutan umum yang menuju lokasi tersebut. Fasilitas di objek wisata budaya ini sangat kurang. Untuk pengunjung yang datang ke lokasi wisata budaya tersebut relatif banyak, untuk hari malam jumat kliwon mencapai 10-50 orang, sedangkan untuk hari besar seperti muludan mencapai 100 orang pengunjung yang datang dan dari pihak pengelola atau kuncen menyuguhkan wayang kulit sebagai hiburan pengunjung. Tiket untuk masuk ke lokasi tersebut tidak di target melainkan hanya sebatas infak.
h. Sumur Dalem
Sumur Dalem terletak di Desa Pilangsari Kecamatan Jatitujuh dengan jarak tempuh +33 Km dari pusat Kota Majalengka yang memiliki luas +100 m2.  Objek wisata ini merupakan objek wisata budaya yang merupakan sebuah sumur keramat yang airnya dipercaya oleh masyarakat sekitar untuk memintah berkah. Akses menuju lokasi tersebut kurang baik seperti jalan yang rusak dan belum adanya angkutan umum yang menuju lokasi tersebut, selain itu lokasi yang berada di tengah hutan dan jauh dari pemukiman warga sekitar. Namun pengunjung yang datang ke tempat lokasi wisata budaya tersebut masih ada, setiap pengunjung yang datang ke tempat wisata tersebut di antar oleh juru kunci (kuncen).
i. Makam Pangeran Muhammad
Makam Pangeran Muhamad yang menempati area seluas sekitar 4.150 m² terletak di Kampung Cicurug, Desa Cicurug – Kabupaten Majalengka. Di tengah area persawahan di daerah perbukitan yang berjarak sekitar 3 km dari pusat Kota Majalengka. Pangeran Muhammad merupakan utusan Sunan Gunung Djati dalam menyebarkan agama Islam di daerah Majalengka. Area pemakamannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu  halaman parkir, halaman yang berisi makam-makam juru kunci, dan makam Pangeran Muhamad. Makam Pangeran Muhamad terletak di bagian paling belakang atau paling utara. Di sini Anda akan mendapatkan satu bangunan cungkup permanen berukuran 5 x 6 m, berlantai keramik putih, dan beratap genting. Makamnya ditandai dengan adanya jirat dan dua nisan yang terletak di bagian utara dan selatan jirat. Jirat tersebut merupakan bangunan berdenah segi empat berteras tiga. Jirat dibuat dari bahan permanen dengan permukaan dilapisi keramik. Nisan dibuat dari batu pipih dengan bentuk dasar segi empat dan pada bagian atas berbentuk undakan yang diakhiri bentuk rata pada bagian atasnya. Uniknya, makam ditutup dengan kelambu berwarna putih yang disangga empat tiang besi.

wisata alam

a. Curug Muara Jaya


Curug Muara Jaya berada di Desa Argamukti, Kecamatan Argapura yang dikelola  pada tahun 1999. Dimana jarak yang harus ditempuh untuk menuju curug ini yaitu +20.1 km dari pusat kota Majalengka. Luas Curug Muara Jaya sebesar +2 Ha. Jarak dari tempat parkir menuju curug tersebut yaitu +300 m berupa jalan setapak yang telah menggunakan paping blok. Objek Wisata Curug Muara Jaya menawarkan keindahan alam dengan panorama air terjun setinggi 73 m yang terdiri dari tiga umpak. Udara yang sejuk dengan hamparan sayur mayur dan pohon kesemek menjadi daya tarik bagi peminat wisata alam. Kawasan ini merupakan jalur alternatif pendakian ke puncak Gunung Ciremai, disamping itu dilokasi ini pada setiap tahunnya digelar upacara pareresan yang dilakukan setelah panen raya. Objek wisata ini banyak diminati oleh pengunjung, dengan rata-rata jumlah pengunjung pada hari libur sebanyak +200 pengunjung, dan pada hari biasa +20 pengunjung dengan harga tiket masuk sebesar Rp. 4.000/orang. Sedangkan Jumlah pengunjung pada tahun 2007 berjumlah 15.782 pengunjung dan pada tahun 2005 berjumlah 32.300 pengunjung, dari tahun 2005 – tahun 2007 mengalami penurunan tingkat kunjungan.


b. Curug Sawer

Curug Sawer terletak di Desa Argalingga, Kecamatan Argapura. Dimana jarak yang harus ditempuh untuk menuju curug ini yaitu +21.5 km dari pusat kota Majalengka. Luas Curug Sawer sebesar +2.986 m2. Objek wisata ini sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek dan daya tarik wisata alam karena memiliki keindahan curug. Kendala dan permasalahan yang di hadapai objek wisata ini kurangnya akses menuju tempat wisata ini dan kondisi jalan yang sangat curam untuk menuju lokasi tersebut sehingga pengunjung mengalami kesulitan untuk mencapai wisata tersebut. Tidak hanya itu objek dan daya tarik wisata ini tidak ada restribusi dan belum terkelola dengan baik, sehingga kurang terawat dan kurangnya minat pengunjung bahkan tidak adanya pengunjung.
c. Air Terjun Cibali
Objek dan daya tarik wisata ini terletek di Desa Cikondang Kecamatan Cingambul yang memiliki jarak +39 km dari pusat kota Majalengka. Objek wisata ini pada umumnya sering di kunjungi oleh para pelajar yang datang pada waktu libur. Objek wisata Air Terjun Cibali ini belum terkelola dengan baik. Untuk akses menuju lokasi tersebut kurang baik dan angkutan umum yang menuju ke tempat wisata ini belum ada. Sedangkan fasilitas di objek wisata ini belum dibangun.


d. Air Terjun Cilutung

Terletak di Desa Campaga Kecamatan Talaga dengan jarak tempuh +28 Km dari  pusat Kota Majalengka. Objek Wisata ini memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, namun lokasi ini belum terkelola dengan baik. Akses menuju lokasi tersebut sudah cukup baik tetapi belum adanya angkutan umum untuk menuju lokasi tersebut. Oleh karena itu, objek wisata ini memerlukan perhatian yang lebih dalam menangani potensi pariwisata yang ada di Desa Talaga Kulon, sehingga Air Terjun Cilutung dapat dikembangkan menjadi objek wisata yang dapat menarik minat pengunjung.
e. Curug Tonjong
Curug Tonjong merupakan objek wisata alam. Objek ini berada di Desa Teja kecamatan Rajagaluh, yang dikelola oleh pihak Desa/Kompepar dan TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai). Jarak dari Kota Majalengka +20 km disebelah Timur dengan luas objek ini yaitu +0,5 Ha.
Curug Tonjong menawarkan keindahan alam yang asri dan alami berupa aliran sungai dengan air terjun yang cukup deras walaupun tidak terlalu tinggi ditambah dengan batu-batuan besar yang terdapat disepanjang aliran sungai. Keunikan dari lokasi wisata ini adalah jembatan bambu yang sengaja dibuat sehingga pengunjung dapat menikmati keindahan lokasi ini ketika melewatinya sampai ke puncak curug serta pada nilai alamiah, sejuknya udara, dan beningnya air sungai yang mengalir. Dimana dipuncaknya terdapat pelataran sebagai tempat beristirahat. Sehingga pada tahun 2005 objek tersebut banyak diminati oleh pengunjung, hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung sebanyak 5.000 orang pada tahun 2005.
f. Situ Sangiang (Makam Sunan Parung)

Situ Sangiang terletak di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran yang didirikan pada tahun 1998, dimana jarak yang harus di tempuh untuk menuju obyek wisata ini yaitu +27 km dari pusat kota Majalengka. Luas keseluruhan objek wisata ini yaitu +107 Ha, sedangkan untuk luas Situ Sangiang yaitu +19,7 Ha. Objek wisata ini dikelola oleh TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai) dan KOMPEPAR (kelompok penggerak pariwisata). Objek wisata Situ Sangiang memiiki panorama yang indah dengan hamparan situ/danau, dalam Situ Sangiang hidup ikan mas dan ikan lele yang menurut masyarakat setempat dipercaya sebagai penjelmaan prajurit Talaga Manggung. Selain situ di tempat ini terdapat makam kramat Sunan Parung yang menjadi tujuan utama para pengunjung untuk berziarah. Sambil menikmati keindahan panorama Situ Sangiang, pengunjung dapat berkeliling menggunakan jalan setapak melihat pepohonan yang berumur ratusan tahun dan satwa liar seperti kera dan lutung.
Akses menuju objek wisata ini cukup baik, jalan menuju objek wisata, dari arah wates sudah cukup baik dengan konstruksi aspal, kondisinya lebar cukup untuk mobil dua arah tetapi seterusnya kondisi jalan yang rusak dan tidak adanya angkutan umum yang menuju kesana, melainkan hanya mobil bak terbuka atau ojek dan kurangnya pasokan air bersih. Rata-rata pengunjung ke objek ini yaitu +800 – 1000 pengunjung/bulan (80% wisata ziarah dan 20% wisata ke situ). Pada tahun 2007 jumlah pengunjung yaitu 8.387 pengunjung sedangkan pada tahun 2005 jumlah kunjungan ke objek wisata ini yaitu 20.600 pengunjung, dengan harga tiket masuk Rp.3000/orang. Sedangkan fasilitas yang terdapat objek wisata tersebut yaitu loket karcis, toilet, parkir, dan tempat istirahat.

g. Situ Janawi

Terletak di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, dengan jarak tempuh +25 km dari pusat Kota Majalengka. Situ ini memiliki luas sebesar +1 Ha yang sampai saat ini masih dikelola oleh Madrasah Diniyah Awaliah. Situ ini memiliki keunikan, dimana adanya daratan kecil ditengah situ dan adanya sumber mata air yang konon katanya dapat menyembuhkan penyakit.
Akses menuju situ ini sudah cukup baik dengan kondisi jalan yang sudah diaspal, tetapi tidak adanya sarana trasnportasi berupa angkutan umum yang menuju ke objek wisata tersebut dengan fasilitas yag masih kurang mendukung. Rata-rata jumlah pengunjung pada event tertentu (lebaran) mencapai +150 pengunjung dengan tiket masuk sebesar Rp. 5.000,-/orang.
h. Talaga Herang dan Talaga Loa
Objek wisata ini terletak di Kecamatan Sindangwangi yang didirikan pada tahun 1999. Objek wisata ini berjarak +23 km dari pusat Kota Majalengka, dimana objek ini dikelola oleh Desa atau KOMPEPAR yang memiliki luas +3 Ha dengan jumlah karyawan sebanyak 10 orang. Objek ini masih bersifat alami dengan mononjolkan daya tarik air talaga yang sangat bening dan adanya mata air yang keluar dari perut bumi ditengah talaga sehingga pengunjung dapat melihat sampai ke dasar talaga. Selain itu objek wisata ini menawarkan koleksi berbagai jenis ikan yang terdapat di talaga, pengunjung dapat menikmati keindahan talaga dengan menggunakan becak air atau perahu kecil.
i. Situ Cipanten

Situ Cipanten terletak di Desa Gunung Kuning, Kecamatan Sindang. Situ ini memiliki luas +1 Ha yang diresmikan pada tahun 1973 yang merupakan Proyek Insentif IPD yang dikelola oleh Desa atau KOMPEPAR. Jarak dari pusat kota menuju objek wisata ini +15 km. Situ ini memiliki 3 manfaat, diantaranya untuk pengairan, perikanan, dan pariwisata. Daya tampung situ ini yaitu 30.000 m3, dimana air yang mengalir dari situ ini sebesar 0.350 l/d dengan areal yang dialiri mencapai 600 Ha. Selain itu objek ini menyediakan pemandangan situ yang cukup menawan, pengunjung dapat menikmati kesejukan udara di lokasi tersebut sambil menikmati pemandangan situ yang tenang.
j. Situ Batu

Situ Batu terletak di Desa Malausma, kecamatan Malausma dengan jarak tempuh +46 km dari pusat Kota Majalengka. Luas keseluruhan objek wisata ini yaitu +500 m2. Situ Batu merupakan objek wisata alami dan terdapat sumber mata air. Akses menuju lokasi tersebut kurang baik dimana jalan menuju lokasi objek wisata hanya jalan batu atau jalan tanah, selain itu belum adanya angkutan umum yang menuju lokasi Situ Batu. Tidak adanya pengelolaan atau perawatan terhadap objek wisata tersebut sehingga menyebabkan adanya kerusakan terhadap Situ Batu.

k. Situ Cikuda

Objek wisata Situ Cikuda berada di Desa Padaherang, Kecamatan Sindangwangi dengan jarak tempuh + 25 Km. Objek wisata ini dikelola oleh Karang Taruna Desa Padaherang dan pada saat ini sering digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat pemancingan ikan serta adanya bendungan. Situ ini belum terkelola dengan baik
Akses menuju ke lokasi tersebut relatif baik dengan kondisi jalan beraspal tetapi disebagian wilayah terdapat jalan yang rusak.
l. Gunung Batu Tilu

Gunung Batu Tilu terletak di Desa Jatimulya Kecamatan Kasokandel dengan jarak tempuh + 8 Km dari pusat Kota Majalengka. Objek wisata Gunung Batu Tilu termasuk jenis wisata alam, Gunung Batu Tilu terdiri dari tiga bukit yang memiliki keunikan dan keindahan alam tersendiri. Akses menuju lokasi tersebut kurang baik, belum adanya angkutan umum untuk menuju lokasi tersebut dan belum adanya fasilitas yang terdapat di objek wisata ini serta belum adanya pengelola yang mengurus objek wisata ini sehingga objek wisata Gunung Batu Tilu tidak berkembang dan tidak terawat dengan baik. Pengunjung yang datang ke objek wisata ini masih ada meskipun sudah jarang pengunjungnya.

m. Kebun Teh Cipasung
Terletak di Desa Cipasung Kecamatan Lemahsugih yang memiliki luas +58 Ha yang dikelola oleh Koperasi Buana Mukti, dengan jarak tempuh +59 Km dari pusat Kota Majalengka. Kebun Teh Cipasung memiliki keindahan alam yang menarik di bandingkan objek wisata yang lainnya yang ada di Kabupaten Majalengka maupun di luar Kabupaten Majalengka. Hal ini terlihat dari jumlah pengunjung pada tahun 2005 berjumlah 5.000 orang. Akses menuju lokasi wisata tersebut kurang baik dan belum adanya angkutan umum yang menuju lokasi tersebut serta belum adanya fasilitas yang terdapat di objek wisata ini. Pengunjung yang datang kelokasi objek wisata ini pada hari libur dapat dikatakan cukup banyak yang mencapai 50-100 orang per harinya. Sedangkan untuk tiket ke lokasi wisata ini yaitu Rp.3.500,-/orang.
n. Pendakian Gunung Ciremai
Gunung Ciremai (Ceremai, Cereme, Cerme, Careme) secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini memiliki kawah ganda, kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 mdpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet. Kini Gunung Ciremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.
Pendakian Gunung Ciremai terletak di Desa Argamukti, Kecamatan Argapura. Pendakian Gunung Ciremai ini dikelola oleh TNGC  (Taman Nasional Gunung Ciremai). Daya tarik objek wisata ini adalah puncak Gunung Ciremai, pendakian dan keindahan alamnya. Akses untuk mencapai lokasi ini kurang baik dan tidak dapat di tempuh oleh angkutan umum, dengan harga tiket untuk pendakian ini yaitu Rp. 6.500,-/orang.
o. Panorama Cikebo

Panorama Cikebo berada di Desa Tegal Sari Kecamatan Maja, dengan jarak tempuh +14 km dari pusat Kota Majalengka. Objek dan daya tarik Panorama Cikebo memiliki pemandangan yang indah dan dapat dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat dan tempat bakar jagung bagi pengunjung. Akses untuk menuju lokasi objek wisata ini cukup baik karena berada dipinggir jalan dan dilalui oleh angkutan umum. Fasilitas yang terdapat disana yaitu tempat istirahat dan tempat bakar jagung.

wisata minat khusus

a. Panorama lemahputih


Panorama Lemahputih terdiri dari dua objek wisata yang berdampingan yaitu Buana Marga (Taman Dinosaurus) dan Buana Puri (tempat hiburan, kolam renang, lapangan golf, cafe) yang terletak di Desa Lemahputih, Kecamatan Lemahsugih, yang memiliki jarak  +47 km dari pusat kota Majalengka dengan luas mencapai +20 Ha yang dikelola oleh perseorangan yaitu Bapak H. Girri.
Objek wisata ini merupakan perpaduan antara jenis wisata alam dan buatan. Untuk mencapai lokasi wisata tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umun, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Setiap wisatawan yang bermaksud mengunjungi objek wisata ini dengan menggunakan kendaraan umum dapat menggunakan kendaraan jurusan Talaga – Bantarujeg, Bantarujeg - Lemahsugih dengan kondisi jaringan jalan cukup baik. Rata-rata pengunjung untuk setiap harinya bisa mencapai 50 orang, untuk hari libur mencapai lebih dari 100 orang, sedangkan untuk event-event tertentu bisa mencapai limaratus orang atau lebih. Untuk pendapatan dari objek dan daya tarik wisata ini pada tahun 2003 dapat menghasilkan sampai 4 – 6 juta/hari.


b. Kolam Renang Tirta Indah


Kolam Renang Tirta Indah berada di Jl. Raya Kramat Rajagaluh Desa Ujung Berung, Kecamatan Sindangwangi. Kolam renang ini terkelola atau dimiliki oleh perseorangan (Bapak H. Ohim) yang rencananya akan mengembangkan kolam renang berskala nasional. Luas area kolam renang untuk saat ini +1.2 Ha. Kolam renang ini merupakan kolam renang terbesar dengan fasilitas yang cukup lengkap yang berada di Kabupaten Majalengka. Pihak Pengelola sendiri mempromosikan Kolam Renang Tirta Indah dengan cara menyebarkan brosur, pamplet, koran, dan radio.



c. Kolam Renang Sangraja

Objek wisata ini terletak di kelurahan Cigasong, Kecamatan Cigasong. Objek ini memiliki luas mencapai +1 Ha, dimana dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka (Kantor Budpar). Jarak dari pusat kota untuk menuju objek wisata ini yaitu +1.5 km. Kolam renang ini merupakan salah satu alternatif tempat hiburan keluarga karena ditempat ini tersedia kolam renang berbagai ukuran dan tempat bermain anak. Dikatakan Sangraja karena konon dahulunya menjadi tempat rekreasi dan hiburan keluarga dan pejabat kerajaan di masa penjajahan Belanda.
d. Kolam Renang Surya
Kolam Renang Surya terletak di Desa Liang Julang Kecamatan Dawuan. Letak kolam renang ini dekat dengan Pasar Kadipaten dan tidak jauh dari pusat kota. Jarak dari pusat kota untuk menuju objek wisata ini yaitu +10 km. Kolam renang ini merupakan salah satu alternatif tempat hiburan keluarga karena ditempat ini tersedia kolam tanding, kolam arus, kolam bermain dan kolam pancing.
e. Sirkuit Gagarajy
Terletak di Desa Pangkalanpari Kecamatan Jatitujuh dengan jarak tempuh +36 Km dari  pusat Kota Majalengka yang memiliki luas +25 Ha. Objek wisata ini merupakan wisata buatan untuk mengembangkan minat masyarakat Kabupaten Majalengka dalam bidang olah raga otomotif (grasstrack dan motorcross). Sirkuit Gagarajy merupakan sirkuit tingkat nasional, selain itu sirkuit gagaraji merupakan sirkuit terbesar di Jawa Barat. Event-event yang dilaksanakan di sirkuit ini antara lain Kejurnas, kejurda, dan event-event tingkat lokal. Sirkuit Gagarajy dikelola oleh Gagarajy Otomotif Club yang diketuai oleh H. M. Abdul Nadiyanto sebagai direktur utama. Selain itu kawasan ini juga mulai dikembangkan menjadi kawasan agrowisata dengan komoditas pohon mangga gedong gincu.


f. Bendungan Rentang
Bendungan Rentang merupakan kawasan irigasi di Kecamatan Jatitujuh, namun masyarakat setempat dan sekitarnya sudah banyak yang berkunjung untuk menikmati keindahan alam dan menikmati  kesejukan alam di lokasi tersebut. Bendungan Rentang terletak di Desa Jatitujuh Kecamatan Jatitujuh dengan jarak tempuh + 30 Km dari  pusat Kota Majalengka dengan luas 12 Ha. Objek Wisata ini memiliki potensi yang sangat baik untuk di kembangkan, namun lokasi ini belum tersentuh oleh pemerintah Kabupaten Majalengka. Akses menuju lokasi tersebut sudah baik dan lokasi tersebut dapat di tempuh dengan  angkutan umum seperti angkutan desa Kadipaten - Jatitujuh. Potensi objek wisata ini perlu adanya perhatian khusus untuk menangani potensi pariwisata yang ada di desa Jatitujuh, sehingga Bendungan Rentang dapat dikembangkan menjadi objek wisata yang dapat menarik perhatian pengunjung.
g. Situ Cijawura
Situ ini terletak di Desa Kertajati, Kecamatan Kertajati, jarak dari pusat kota menuju objek wisata ini yatu +28 km. Dengan luas +45 Ha. Sumber air Situ Cijawura yaitu dari air hujan yang di tampung di situ ini. Akses menuju lokasi tersebut cukup baik namun tidak adanya moda angkutan umum yang menuju lokasi tersebut. Sedangkan fasilitas di lokasi wisata tersebut hanya ada rumah makan jawura. Situ Cijawura dikelola oleh Paguyuban Jawura Mitra Tani, Situ Cijawura ini sudah beralih fungsi menjadi perikanan tadah hujan.
h. Situ Anggrahan
Terletak di Desa Pilangsari, Kecamatan Jatitujuh, dengan jarak +35 Km dari pusat kota Majalengka yang memiliki luas +35 Ha. Objek dan daya tarik wisata Situ Anggrahan sudah tidak terkelola sehingga tidak terawat. Akses menuju lokasi tersebut cukup baik namun tidak adanya moda angkutan umum yanng menuju lokasi wisata tersebut. Sedangkan fasilitas yang dimiliki objek wisata ini tidak ada. Untuk pada musim kemarau  Situ Anggraahan sangat kering (tidak ada airnya).



i. Objek dan Daya Tarik Wisata Agro Batu Luhur



Wisata Agro Batu Luhur terletak di Desa Jerukleueut, Kecamatan Sindangwangi. Jarak yang harus ditempuh dari pusat Kota Majalengka untuk menuju objek ini yaitu + 22 km dengan luas lahan sebesar +5 Ha (2 Ha milik Desa Sindangwangi dan 3 Ha milik rakyat). Objek wisata ini dimiliki/dikelola oleh perseorangan yaitu CV. Sindangwangi Agro.Pada saat ini wisata tersebut sedang dalam proses pengerjaan, objek wisata ini mengembangkan potensi alam yang sudah ada dengan ciri khas batu tertinggi di Kecamatan tersebut dan Hortikultura. Pengembangan kedepannya akan membuat suatu objek wisata yang memiliki konsep wisata agro, dimana dalam satu kawasan objek tersebut dikembangkan berbagai macam jenis kegiatan, diantaranya kegiatan alam (outbond/area berkemah), kegiatan rohani (pesantren), kegiatan pendidikan dan pelatihan (pendidikan bercocok tanam, jenis bambu, penangkaran dan domba unggulan serta pelatihan SAR), dan kegiatan berburu. Selain itu akan direncanakan paket wisata (Wisata Agro Batu Luhur, Talaga Herang, dan Situ Cikuda), dimana akan menambah daya tarik bagi pengunjung. Oleh karena itu objek wisata ini merupakan salah satu potensi wisata unggulan di Kabupaten Majalengka. Fasilitas yang terdapat disana yaitu mushola, arena bermain anak (playing fox dan teropong bintang), tempat penjualan souvenir, tempat penjualan macam buah-buahan (salah satunya durian dan lengkeng), restoran (saung prasmanan), toilet, dan tempat pelatihan. Sedangkan untuk villa, rencananya akan dibangun di dekat Situ Cikuda karena memiliki udara yang sejuk untuk beristirahat. Akses menuju objek pada saat ini sudah cukup baik dengan kondisi jalan yang sudah diaspal, tetapi belum adanya angkutan umum yang menuju kesana.

GAOK

Kesenian “ Gaok “ apabila  diamati dalam cara penampilannya merupakan seni tradisional yang telah mengalami singkritisme antara nilai-nilai budaya etnis sunda buhun dan budaya bernuansa islam yang dibawa dari cirebon. Misalnya dapat diamati ketika dalam pertunjukan, ternyata selalu diawali dengan bahasa sunda, tetapi gayanya terkadang seperti orang yang sedang mengumandangkan adzan, kemudian busana yang dikenakan para pemainnya adalah busana khas sunda.
Seni ini mulai ada dan berkembang di majalengka di perkirakan sejak setalah masuknya Agama Islam di wilayah Kabupaten Majalengka yaitu sekitar abad ke 15 ketika pangeran Mehammad berusaha menyebarkan ajaran islam, yang dilaksanakan sebagai upaya yang dipandang strategis dalam dakwah islam. Hingga sekarang seni tradisonal Gaok masih ada yaitu yang dikembangkan di desa Kulur Kecamatan Majalengka oleh seorang seniman bernama Sabda Wangsaharja sejak sekitar tahun 1920.
Kesenian tersebut termasuk seni sastra jenis “ mamacan “ (membaca tekx) atau juga disebut wawacan singkatan dari wawar ka anu acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui), yang disuguhkan tanpa penggung pada acara seperti keperluan ritual atau upacara adat yang umumnya dilaksanakan ketika  “ ngayun “ (acara kelahiran bayi ) dengan cara memaparkan cerita seperti Babad Cirebon yang dilantunkan melalui vokal para pemain yang berjumlah antara empat hinga enam rang bahkan mungkin lebih, dengan busana berupa kampret/ toro lengkap dengan ikat kepala, sipimpin oleh seorang dalang/pengawawit dan juru mamaos, diatur berdasarkan urutan; (1) tatalu; (2) lalaguan dan (3) tarian; serta (4) pertunjukan. Adapun alat musik yang digunakan adalah (1) Gong Buyung dan (2) Kecrek dari Bambu. Durasi pemain biasanya berlangsung semalam suntuk. Sekarang durasinya hanya sekitar dua jam saja, dimana para pemainnya secara bergantian melantunkan tembang dengan suarayang keras sehingga dinamakan ‘ Gaok “ yang diambil dari kata “ ngagorowok “ (berteriak) dengan bentuk pupuh atau kakawen.
Kesenian Gaok di Desa Kulur Kecamatan Majalengka saat ini dipimpin oleh E. Wangsadiharja, tersebar hingga ke beberapa desa Kecamatan Majalengka dan Cigasong. Sebelum kesenian Gaok dimulai diadakan upacara “ susuguhan “ (memberikan sesajen kepada para leluhur) berupa makanan dan minuman sisertai pembakaran kemenyan.
Menurut kurun waktu nya seni Gaok terbagi dua macam, yaitu (1) Buhun yang mengisahkan zaman dahulu dan; (2) Galur yang mengisahkan kehidupan manusia pada zaman sekarang.


SAMPYONG
Pada tahun 1960 di daera Cibodas Kecamatan Majalengka tumbuh sebuah permainan rakyat yang dikenal dengan ujungan. Permainan ini merupakan permainan adu ketangkassan dan kekuatan memukul dan dipukul dengan mengunakan alat yang terbuat dari kayu atau rotan berukuran 60 cm. Pemain terdiri atas dua orang yang saling berhadapan, baik laki-laki maupun perempuan, dipimpin oleh seorang wasit yang disebut malandang. Kedua pemain menggunakan teregos, yaitu tutup kepala yang terbuat dari kain yang diisi dengan bahan-bahan empuk sebagai pelindung kepala. Tutup kepala demikian dikenal pula dengan sebutan balakutal. Sasaran pukulan pada permainan ujungan tidak terbatas, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa di tangkis. Seorang pemain dapat memukul lawanya sebanyak-banyaknya, atau bahkan dipukul sebanyak-banyaknya, hingga salah seorang diantaranya dinyatakan kalah karena tidak lagi kuat manehan rasa sakit akibat pukulan.
Pada deskripsi profil ini, ujungan tidak dikatagorikan seni bela diri, karena seorang pemain tidak melakukan jurus tangkisan. Walupun demikian, permainan ini tetap dianggap sebagai sebuah karya seni karena didalamnya terdapat unsur-unsur kesenian, misalnya seperangkat gamelan pencak silat yang ditabuh sepanjang permainan ujungan dilaksanakan. Adegan ibing pencak silat yang manis. Pukulan ditandai dengan seruan sang maladang : “ Biluuk! “, disusul kemudian dengan pukulan kearah yang diinginkan.
Karena sifat permainan yang terlalu bebas, maka permainan ini dianggap terlalu berbahaya dan tidak banyak orang yang sanggup memainkannya. Beberpa orang tokoh ujungan mencoba membuat penyempurnaan-penyempurnaan, dengan cara menyederhanakan aturan permainan. Setidaknya terdapat tiga butir aturan esensial yang terdapat pada aturan permainan yang baru, yaitu :
  • Seorang pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak 3 (tiga) kali pukulan; dan
  • Sasaran pukulan hanya sebatas betis bagian belakang, tidak lebih dari itu.
  • Pemain dapat bermain pada kelas yang ditentukan menurut usia, misalnya golongtan tua, menengah, pemuda, dan anak-anak.
Seiring dengan berlakunya peraturan yang baru itu, maka nama ujungan pun ditinggalkan. Nama permainanyang lebih populer adalah “ Sampyong ”, Sam = Tiga dan Pyong = Pukulan. Nama baru ini terucap begitu saja dari salah seorang penonton keturunan Cina ketika ia menyaksikan permainan ini. Kiranya ia tertarik pada jumlah pukulan pada permaianan ini hingga kemudian terucaplah kata Sampyong yang kemudian melekat menjadi sebutan permainan sampai sekarang.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, sampyong dihidangkan pada acara-acara tertentu, misalnya pada acara hajatan, dan kini lebih sering terlihat pada acara kontes ketangkasan domba (adu domba). Berikut beberapa urutan pertunjukan sampyong pada suatu acara khusus :
  1. Seluruh peserta memasuki arena dipimpin oleh seorang wasit, melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan kendang pencak dan lagu Golempang.
  2. Pertunjukan eksibisi, yang dimainkan oleh dua orang tokoh ujungan, sebagai pertunjukan pembuka.
  3. Pertunjukan utama, seorang pemain berhasapan dengan pemain lainnya menurut urutan panggilan, dipimpin oleh seorang maladang.
Tokoh-tokoh yang berjasa mengembangkan seni sampyong antara lain : Sanen (Almarhum), Abah Lewo, Mang Kiyun, mang Karta, K. Almawi, Baron, Komar, Anah, Emin dan beberapa tokoh lainnya yang tersebar di beberapa daerah Majalengka. Berkat keulatn para tokoh itu, sampyong tersebar kebeberapa daerah diantaranya Cibodas, Kulur, Sidangkasih, Cijati, Simpeureum, Pasirmuncang, dan beberapa daerah lainnya. Sebagai penghormatan, kelompok seni sampyong Mekar Padesaan dari simpeureum pernah mewakili Jawa Barat pada event pertunjukan seni olah raga di Bali beberapa waktu yang lalu.


SINTREN

Kesenian Sintren di Majalengka berkembang di daerah Ligung, yakni daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Indramayu, yang dianggap sebagai daerah nenek moyang kesenian ini, kedekatan wilayah ini menyebabkan terjadinya penetrasi indramayu ke wilayah Ligung, yang disebabkan oleh adanya komunikasi, sentuhan sosial, dan sekaligussentuhan budaya. Bahasa sebagainmasyarakat Ligung yang menggunakan Bahasa Indramayu, menyebabkan sintren yang diiringi lagu-lagu indramayuan dengan mudah diterima masyarakat setempat. Salah satu lagu yang terkenal dalam kesenian sintren adalah Turun Sintren yang sebagian syairnya berbunyi sebagai berikut :
Turun-turun sintren
Sintrene Widhadhari
Widhadhari tumuruno
Aja suwen mindho dalem
Dalam sampun kangelan
Lagu di atas memiliki kekuatan magis yang tinggi, sebab selain sebagai lagu pengantar, lagu ini merupakan lagu “ mantra “ yang sangat berpengaruh kepada jalanya pertunjukan sintren. Adapun instrument/waditra-wadhitra yang dipergunakan sebagai pengiring terdiri atas duah buah ketipung, sebagai kendang kecil, kecrek, dan dua buah buyung/juru/klenting (wadah untuk mengabil air). (Tuty Yuhanah, 1983). Karena salh satu wadhitra yang digunakan adalah buyung, maka sintren disebut juga Ronggeng Buyung, namun istilah ini tidak sepopuler nama sintren.
Menurut Arthur S. Nalan (2003), kata sintren berasal dari kata SIN yang berarti sindir, dan TETAREN yang berarti pertanyaan memlalui syair yang perlu dipikirkan dan dicari jawabannya. Adegan yang tampak pada pertunjukan sintren adalah adanya orang yang kesurupan (trence), yang karena adegan trence maka kata sintren digunakan.
Lagu-lagu lain yang dilantunkan dalam kesenian sintren adalah kidung, Kembang Tareate, Gulung-gulung Klasa, Simbar Pati, Kilar Blatar, dan lain-lain. Sebagaimana sisebutkan di muka bahwa lagu-lagu pengiring ini memiliki kekuatan magis, sebab ada beberapa lagu yang digunakan sebagai sarana pemujaan; selain beberapa lagu yang merupakan pembaharuan, umpanya lagu-lagu dangdut, yang digunakan sebagai lagu permintaan dari penonton yang akan ikut nari. (Tuty Yuhanah).
Pertunjukan sintren diawali dengan nyala sinar lampu tempel atau ocor, disusul dengan bunyi gamelan. Setelah membakar dupa, seorang penari berkaca mata hitam namun berpakaian biasa dengan tangan teikat tambang di belakang, masuk kedalam lingkaran pertunjukan. Sementara itu para penyanyi menajikan lagu-lagu sebagai lagu pemujaan berbahasa Indramayu yang dilakukan berulang kali.
Penari sintren yang terikat tambang tak sadarkan diri ketika pawang membacakan mantra-mantra, dirbahkan dan dimasukan kedalam kurungan (ranggap). Pawang membawa dupa sambil membaca mantra, berjalan mengelilingi kurungan, diiringi gamelan dan lagu-lagu yang terdengar dinyayikan terus-menerus.
Tbalah saatnya kurungan dbuka, ternyata putri sintren sudah beubah, kini ia memakai pakaian cantik dan tangan tidak terikat. Aksesoris yang dikenakan putri sintren tampak gemerlapan karena sinar lampu, dan tentu saja, berkaca mata hitam. Sewer pun datang berjatuhan dari penonton, sebagai ungkapan selamat kepada putri sintren yang kini tampak cantik. Jika tubuh putri terkena lemparan sawer, maka tubuhnya akan lemas dan terjatuh, “ makanya ketika sintren menari selalu dikelilingi pembantu juru kawih, dan apabila terjatuh maka ia akan dibacakan mantra-mantra agar segar kembali “ (Athur S. Nalan). Lagu yang nyanyikan pada waktu saweran adalah lagu Ayo Ngewer-Ngewer Putren :
Ayo ngewer-ngewer putren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer putren
Sing disawer panjoko bae
Jika penyawer sudah sepi, putri sintren berjongkok dan ditutup ranggap kembali, dengan iringan lagu Orok-orok :
Orok-orok
Banyu bangrimapar tembok
Wong nonton pada udodhok
Sintren metu salin erok
Ketika ranggap dibuka, tampak putri sintren sudah berpakaian seperti semula, berpakaian bisasa, berkaca mata hitam, dan tangan terikat, serta tidak sadarkan diri. Pawang membacakan matra hingga ia tersadar. Pertunjukan berakhir diiringi lagu Ulung-ulung :
Ulung-ulung Simbar Wulung
Sing Wulungpatine layang
Ala gandrung eling-eling
Ayo si........ (menyebut nama putri sintren)........ pada balik.
Kesenian sintren yang ada saat ini di desa Randegan wetan Kecamatan Jatitujuh, dengan group “ Metal Budaya “.


KECAPIAN
Kecapapian merupakan bentuk kesenian yang menggunakan kecapi sebagaiwaditra utama. Di Majalengka tumbuh berbagai ragam bentuk bentuk seni kecapian, antara lain Kecapi Suling, Kecapi Cemplungan, Kecapi Jejaka Sunda, Kecapi Pantun, dan Kecapi Kalaborasi. Berikut disajikan deskripsi tentang keenam ragam seni kecapian tersebut.


1. Kecapi Suling
Kecapi suling yang berkembang di Majalengka terdiri atas Kecapi tembang dan Kecapi Kawih.
1. Kecapi Tembang
Kecapi suling merupakan bentuk kesenian yang memadukan waditra suling. Fungsi kecapi dan suling pada kesenian ini adalah sebagai pengiring lagu-lagu berbentuk tembang dan kawih.
Seni kecapi suling yang mengiringi tembang dikenal dengan Tembang Sunda,. Pada kesenian ini, terdapat dua buah kecapi sebagai pengiring, yaitu kecapi indung dan kecapi rincik. Biasanya kecapi indung disebut juga kecapi perahu sebab bentuknya seperti perahu. Kadang-kadang disebut jugakecapi gelung karena pada kedua ujungnya berbentuk gelung wayang (mahkota). Jumlah kecapi indung ada 18 yang terbuat dari bahan kuningan. Sedangkan suling yang dipergunakan dalam tembang sundaadalah suling berlubang enam yang dapat berfungsi menghasilkan beberapa laras, seperti pelog, madenda (sorog), dan salendro. Khusus untuk tembang yang berlaras salendro biasanya rebab digunakan untuk menggantikan fungsi suling.
Pemain kecapi suling pada tembang sunda terdiri atas seorang pemain kecapi indung, seorang pemain kecapi rincik, seorang peniup suling, dan juru mamaos baik wanita maupun pria. Lagu-lagu atau tembang yang dibawakan dalam tembang sundaterdiri atas empat golonganlagu, yaitu Rarancagan, Papantunan, dedegungan, dan Jejemplangan. Keempat golongan lagu itu termasuk kedalam sekar irama merdika yaitu lagu yang tidak terikat birama. Untuk melangkapi penyajian tembang irama merdika tersebut, biasanya disajikan penambih (lagu tambahan) berupa kawih. Kawih yang disajikan sebagai penambih ini berbentuk sekar tandak, yaitu lagu yang terikat birama, sehingga iringannya terdengar beraturan.
Para pemain kecapi seling tembang sunda berpakaian taqwa dengan warna seragam, memakai bendo, dan berkain panjang. Sedangkan juru mamaos wanita mengenakan kebaya dengan sanggul dan hiasan lainnya.
Di Majalengka tembang sunda dikembangkan oleh para seniman yang pernah mendapat pendidikan tembang sunda dari daerah periangan, baik melalui penataran atau pelatihan, maupun melalui pendidikan sekolah (SMK dan STSI). Tokoh-tokoh seniman yang berjasa mengembangkan tembang sunda diwilayah Majalengka antara lain Samsuri, E. Kusnadi, Oyo Suharja, Amin Choeruman, dan Soni Supriatna. Walaupun tidak melalui pendidikan khusus, di majalengka lahir beberapa orang juru mamaos wanita yang turut meramaikan khasanah tembang sunda, antara lain Titin Supartini, Tati, Lia Marliani, dll.
2. Kecapi Kawih
Kawih adalah bentuk karawitan sekar (vokal) yang terikat oleh birama atau ketukan. Kecapi untuk mengiringi kawih berbeda dengan kecapi pengiring tembang. Kecapi yang digunakan untuk mengiringi kawih ini adalah kecapi siter dengan julah kawat 20. Biasanya menggunakan satu atau dua buah kecapi. Jjika menggunakan dua buah kecapi, salah satu di antaranya berfungsi sebagai kecapi indung dan yang lainnya sebagai rincik. Suling pada kecapi kawih ini berfungsi sebagai lilitan lagu yang kadang-kadang tempatnya digantikan oleh rebab sesuai dengan kebutuhan lagu. Vokalis pada kesenian ini disebut juru sekar atau juru kawih.
Kesenian ini biasanya tampil menghibur dalam berbagai acara, baik acara seremonial biasa maupun acara-acara hajatan. Hingga saat ini dikenal beberapa pelaku seni kecapi kawih yang andal di Majalengka, di antaranya E. Kusnadi, Oyo suharja, Wasman Rukmana, Daryono, Risnandar, Soni Supriatna (suling dan rebab), Aceng Hidayat (suling), Dede Carmo, Rasma Sudrajat, dan Dadang.
Kesenian kecapi kawih saat ini juga dikembangkan melalui media radio, yaitu melalui siaran Haleuang Pasundan di Radika 100,3 FM Majalengka oleh Group Panghegar. Kelompok seni kawih lainnya antara lain Manik mekar Saputra (Cigasong), tandang Midang (Munjul), dan Kania Setra (Maja).

2. Kecapi Cemplungan
Waditra yang digunakan pada kecapi cemplungan bukan hanya kecapi dan suling, akan tetapi ditambah dengan waditra lain lain sepeti gendang dan gong. Penyajian musik pada jenis kesenian ini terasa lebih lengkap karena beberapa waditra yang berneda dibunyikan dalam suatu sajian yang harmonis. Lagu-lagu yang dibawakan adalah sekar tandak atau kawih. Pada kecapi cemplungan ini, rebab lebih banyak difunsikan jika lagu-lagu dibawakan dalam laras salendro. Untuk menambah daya tarik kepada penonton, penyajian kecapi cemplungan kadang-kadang ditambah pula dengan penari jaipongan, karena musik yang dibawakan melalui kecapi cemplungan memungkinkan tampilnya penari jaipongan melalui lagu-lagu yang selaras.
Group-group kesenian yang siap menampilakan seni cemplungan antara lain Manik Mekar Saputra, Sanggar Panghegar, Tandang Midang, dan Kania Setra.

3. Kecapi Jejaka Sunda
Kecapi jejaka sunda merupakan jenis seni kecapian yang menyajikan lagu-lagu yang jenaka atau luca dalam irama bebas. Jenis kecapian yang digunakan adalah kecapi siter. Pelakunya tediri atas seorang pemain kecapi yang berpera juga sebagai penyanyi ditambah dengan seorang atau dua orang pemain yang semuanya memiliki kemampuan lagu-lagu jenaka.
Kecapi jenaka sunda di Majalengka dikembangkan pada waktu kelompok kesenian PG Kadipaten (tahun 1970-an) masih aktif, dengan seorang dalangnya yang kreatif yaitu Edi Jubaedi. Pemain lainnya yang terkenal adalah Abah Duleh, Abah Bontot, Mang Uu Wahyu, dan Mang Pentil. Generasi berikutnya adalah Karjo, Iwan Abok, Casma (Mang Cemeng), Ikin Sodikin (Mang jangkung).
Pada saat sekarang, kecapi jenaka sunda meskipun jerang sekali ditampilkan dapat dipesan melalaui group Mustika Budaya (Cigasong) dan Tandansg Midang (Munjul).

4. Kecapi Pantun
Kecapi Pantun merupakan sajian kecapian sebagai mendia pengantar atau pengiring ketika sang juru pantun membawa cerita. Pengertian pantun secara harfiah menurut Saleh Danasasmita adalah  “ cerita, balada, dongeng atau sejarah masa silam, umumnya mengenai kerajaan Pajajaran (dibawakan dengan nyanyian, diiringi tarawangsa atau kecapi). (Saleh, 1974). Sedangkan menurut para juru pantun merupakan wancahan atau singkatan dari kata papan nu jadi panungtun. Artinya melalui cerita pantun penonton atau pendengar mendapat tutunan hidup.
Kesenian pantun merupakan jenis kesenian yang didukung oleh unsure-unsur seni sastra dan karawitan. Unsur sastra tampak pada cerita pantun yang dibawakan. Cerita pantun yang semula hanya merupakan cerita lisan. Sekarang sudah banyak yang ditulis berupa buku. Unsur seni karawitan tampak pada iringan widatra kecapi yang dipetik selama pertunjukan pantun dilaksanakan.
Karakteristik penyajian pantun secara tradisional adalah :
  1. Pelaku kesenian ini hanya 1 orang.
  2. sebelum pergelaran dilakukan upacara berupa penyiapan sesajen (sesaji) dan membaca mantra oleh juru pantun sambil membakar kemenyan.
  3. kecapi yang digunakan adalah kecapi indung, atau kecapi biasa dengan jumlah kawat 18 buah.
  4. hingga sekarang masih dianggap sebagai kesenian yang sakral.
Karakteristik pertama bahwa pelaku pantun hanya 1 orang, ini senada dengan penuturan Ajip Rosidi (1983 32) bahwa di daerah Cirebon peruntunjukan pantun hanya dilakukan oleh seorang juru pantun, tanpa teman main lainnya. Namun kenyataan kemudian menunjukkan bahwa upaya survive agar pantun tetap digemari maka pada kesenian ini ditambahkan waditra lain, seperti piul (biola), seorang sinden, dan bahkan gamelan, sehingga pertunjukan pantun tidak ubahnya pertunjukan wayang catur (cerita wayang tanpa wayang) (Ajip Rosidi, 1983 33).
Sesuai dengan jiwa sakralitas yang diusungnya, kesenian pantun selain dipertunjukkan untuk keperluan tontonan, digunakan juga untuk keperluan ruwatan. Tatakrama ruwatan dan kelengkapan Iainnya tidak berbeda dengan acara ruwatan yang dilaksanakan menggunakan kesenian wayang (golek maupun kulit).
Pada umumnya, alur cerita dimulai dengan Rajah Pamuka, diteruskan dengan mangkat carita, nataan karajaan dan para tokoh cerita, selanjutnya bercerita. Pada akhir cerita ditutup dengan melantunkan lagu Rajah Pamunah atau Rajah Penutup.
Cerita-cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Jaran Sari, Raden Deudeug Pati Jaya Perang, Panggung Karaton, Demung Kalagan, Nyi Pohaci Sanghiang Sri, dll.
Tokoh-tokoh atau jurupantun terkenal dari Majalengka adalah
  1. Saein dari Kelurahan Tonjong;
  2. Sidik dari Bantarjati;
  3. Warwa dari Desa Jatitujuh;
  4. Maun dari Pasir
  5. Nadi dari Desa Kutamanggu;
  6. Baedi dari Desa Kadipaten;
  7. Kusma dari Desa Kadipaten;
  8. Cecep dari Desa Waringin;
  9. Rasim dari Desa Mandapa;
  10. Iwan Ompong dari Desa Bojong Cideres.
Dari kesepuluh orang jurupantun di atas, yang masih hidup adalah Cecep, Rasim, dan Iwan Ompong. Ketiganya sudah berusia cukup lanjut. Karena itu perlu ada upaya regenerasi agar kesenian ini tidak mengalami kepunahan.

5. Kecapi Kolaborasi
Kecapi kolaborasi dikembangkan oleh para seniman muda Majalengka seperti Oyo Suharja dan kawan-kawan. Pada kesenian ini waditra yang digunakan adalah, kecapi siter, gitar akustik, cuk, gitar bas, biota, ruling, gendang, dan gong. Jumlah pernain musik yang, terlibat di dalamnya mencapai
sepuluh orang, yang masing-masing memegang alat musik y.iii{j berbeda. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu kowlli Sunda, lagu-lagu pop Sunda, dan bahkan mampu mengiriiigi
lagu-lagu Indonesia Populer.
Di dalam penyajiannya, para pemusik tidak duduk bersila sebagaimana kesenian Sunda lainnya. Kecapi yang digunakan disimpan di atas sebuah standar sehingga pemain
kecapi dapat memainkannya sambil duduk di atas kursi. Demikian pula dengan, pemain musik lainnya. Jumlah penyanyi atau juru sekar pada kesenian ini dapat lebih dari satu orang.
Kecapi kolaborasi di Majalengka pertama kali diperkenalkan pada waktu Gelar Seni Tradisi 1 tanggal 26 Desember 2004. Sanggar Panghegar (Radika FM Majalengka) pimpinan Wasman Rukmana adalah satu-satunya kelompok kesenian yang menyajikan jenis kesenian ini.


TARI TOPENG KLASIK
Pada abad ke XVI para wall yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Embah Kuwu Sangkan (Gusti Sinuhun Cirebon) menciptakan sebuah kesenian yang dinamakan Tari Topeng, karena para penarinya memakai tutup muka yaitu Nyi Mas Gandasari (Nyi Gedeng Pangarongan) serta para wiyaganya terdiri dari Walisanga.
Pada mulanya seni Topeng ini untuk menyamar agar bisa masuk ke dalam Keraton Kasepuhan yang telah dikuasai oleh Pangeran Karawelang dari Karawang yang kontra terhadap Walisanga dan ajaran Islam. Dengan menyamar sebagai Nyi Mas Karawelang pedang pusaka yang disebut "Pedang Si Gelap" dapat direbut yang akhirnya Keraton kasepuhan dapat diduduki kembali oleh Gusti Sinuhun Cirebon. Selanjutnya kesenian Topeng ini digunakan sebgai sarana upacara adat Keraton dan upacara Ngarot (syukuran pada musim panen padi di desa-desa).
Masuknya seni Topeng ke daerah Kabupaten Majalengka sekitar abad ke XVII yang dibawa oleh bapak Setian (seorang tokoh seni Tari Topeng dan Wayang Kulit) dari Gegesik, kemudian secara turun temurun sehingga tahun 1937 berdirilah kesenian ini yang dipimpin oleh Andet Suanda.
Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Warniti, bahwa tari Topeng ini dibawa ke Majalengka oleh Embah Buyut Giwang pada abad ke XIX, dan tahun 1930 baru emulai berdiri Tari Topeng Klasik Beber yang pada saat itu penarinya ada tiga orang, yaitu; Nayem, Nasem dan Nayem (ibunya Warniti).
Tari topeng klasik berkembang di Desa Randegan Kecamatan Jatitujuh. Ini merupakan kelompok seni tradisional yang didirikan tahun 1952 sebagai kelanjutan dari tradisi di Desa Beber. Pendirinya adalah Ema Nayem, kemudian diwariskan kepada H. Warniti, Suanda, Tasminah, dan Suhadi hingga sekarang. Menurut Suhadi Tari Topeng Klasik yang dipimpinnya pernah tampil hingga ke wilayah Cirebon dan Kuningan.
Terdapat beberapa jenis tari topeng, seperti topeng; (1) Panji; (2) Samba; (3) Tumenggung; (4) Rahwana; dan (5) Rumyang. Kelima jenis tersebut menggambarkan siklus kehidupan manusia. Topeng panji menggambarkan fase masa bayl (warna putih) temperamen raja Pinandita; Topeng Samba mengambarkan fase masa remaja (warna merah gading) temperamen Raja Sinatria; Topeng Tumenggung menggambarkan fase masa dewasa (warna merah jambu) temperamen manusia kukuh dan berwibawa; Topeng Rahwana menggambarkan fase masa dewasa dengan nafsu buruk (warna merah tua) temperamen manusia yang tidak menemukan aku dengan sifatnya yang sombong; dan Topeng Rumyang menggambarkan fase masa tua (warna mawar) temperamen manusia yang telah tua yang percaya diri.
Penyajian Tari Topeng Klasik didukung oleh pangrawit, (pemusik), penari dan lawak berbusana khas tradisional Cirebon. Busana yang dipakai oleh pangrawit yaitu jas tutup, bendo dan selancar. Sedangkan pemeran wanita berupa apok, soder dan sontog. Kesenian ini dilengkapi dengan Iayar, dekorasi panggung khas Cirebon.


KUDA RENGGONG
Kuda renggong tumbuh dan berkembang di Kabupaten Majalengka sejak tahun 1950-an. Adalah sebuah seni pertunjukan rakyat yang bersifat helaran dan pada awalnya disiapkan melayani pesta sunat. Penampilannya kemudian bukan hanya untuk pesta sunat,-namun dipersiapkan juga untuk acara lain, seperti upacara hari besar, festival, menyambut tamu, dll.
Menurut penuturan salah seorang pelatih kuda renggong di Desa Heuleut, Leuwimunding, melatih kuda untuk bisa menari sesuai irama kendang bukan hal yang mudah. Seperti halnya melatih hewan sirkus, melatih kuda memerlukan kesabaran dan_cukup banyak memakan waktu. Kemampuan menari sambil berjalan kemudian ditambah dengan kemampuan atraksi bermain pencak silat. Adegan yang tampak adalah kuda berdiri tertumpu pada sepasang kaki belakang, sedangkan pasangan kaki depan melakukan gerakan-gerakan silat. Ini merupakan puncak pertunjukan kuda renggong, yang biasanya ditampilkan setelah kuda renggong melakukan arak arakan keliling kampung ditunggangi anak sunat. Dalam acara festival, selain keindahan pernak-pernik pakaian clan gerakan tari, gerakan silat ini menjadi fokus penilaian utama. .
Alat musik yang digunakan pada awalnya adalah seperangkat waditra yang digunakan pada pencak silat namun dilengkapi dengan seorang sinden. Penyajian musik pada kuda renggong menjadi lebih atraktif dengan ditambahkannya alat musik modern - biasanya sebuah gitar melodi elektrik - yang menampilkan lagu-lagu jogedan. Pada saat arak-arakan pengantin sunat, masyarakat sekitar yang suka menari atau berjoged turut memeriahkan suasana berjoged di depan kuda dengan maksud untuk menghibur pengantin sunat. Pengantin sunat sendiri dinaikkan di atas Kuda dengan didandani pakaian Gatotkaca sehingga tampak gagah, seperti seorang ksatria kecil sedang menunggang kuda.
Di Majalengka perkembangan kesenian kuda renggong berkembang pesat dan tersebar hampir di semua kecamatan. Dengan tidak menafikan makna spiritual yang dikandungnya, kuda renggong di Majalengka menjadi fenomena hiburan yang digemari oleh semua lapisan mas.yarakat. Studio Radio Indraswara Majalengka bahkan membuat mementum yang bagus, yakni dengan membuat jadwal festival Kuda Renggong setiap tahun sekali. Pada saat festival inilah masyarakat­mendapat kesempatan mengapresiasi kesenian kuda renggong, sekaligus memahami makna yang dikandungnya. Arthur Nalan (2003) menyebutkan bahwa "makna simbolis kuda renggong adalah makna spiritual, makna interaksi makhluk Tuhan, bermakna spiritual, teatrikal dan makna universal.
Nama-nama kelompok kesenian kuda renggong di Majalengka merujuk kepada nama atau julukan yang diberikan kepada kuda yang menjadi ronggeng-nya. Misalnya Si Walet Group, karena nama kudanya adalah.Si Walet, demikian pula halnya dengan nama-nama seperti Si Paser Group, Si Kalong Group, dsb. Nama-nama ini juga tidak diberikan begitu saja, karena pemberian nama juga harus mempertimbangkan wanda (bentuk tubuh), karakter, dan tingkat keterampilan kuda. Misalnya Si Kalong Hideung, nama ini diberikan karena kulit tubuh kuda dimaksud berwarna hitam dan bermata seperti kalong, Si Paser karena keterampilan berlarinya yang cepat melesat seperti sebuah paser (anak panah). Beberapa nama kuda di beberapa daerah ada yang sama, ini disebabkan oleh penyebaran keturunan, balk pemilik kuda maupun kuda sendiri. Atau bahkan karena pemilik kuda yang satu berguru kepada pemilik kuda yang lain, sehingga - dengan komitmen seperlunya - memberikan nama yang sama kepada kuda yang dimilikinya.
Hingga saat ini, tercatat ada 50 group kesenian kuda renggong di Majalengka. Indraswara penyelenggara festival kuda renggong paling sedikit mengundang sedikitnya 15 group kuda renggong. untuk tampil pada acara festival tahunan yang secara resmi dibuka oleh Bupati Majalengka.
Sedangkan group kuda renggong yang masih eksis saat ini beberapa di antaranya sebagaimana disebut pada tebal di bawah ini.
Nama Group Nama
Pimpinan Alamat
Jaya Giri Si Jaya Ijah Baribis, Cigasong
Sari Si Ronald Juhadi Sinarjati, Dawuan
Si Giler Group Si Giler Entis Kasokandel, Dawuan
Sri Si Amoy Ujang Yana Gandu, Dawuan
Pamor Budaya Si Jaya Laksana
Toto Sadasari, Argapura
Budaya Si Gagak Ajid Leuwimunding
Sinar Jaya Si Dolar Dedi Supriatna
Cieurih, Maja
Meganada Si Walet Muda
Ahmad Sukaraja. Jatiwangi
Arpila Si Disco Aminudin Padahanten, Sukahaji
Dimas Si Dimas Ade Tarikolot, Cigasong
Muda Jaya - Kosasih Darmalarang, Banjaran
Walet Si Walet M. Sodikin Sadasari, Cikijing
Si Kalong Hideung
Si Kalong Ujang Sutarding
Palasah
Gatot Si Gatot Adar Palasah



GEMBYUNG
Seni tradisional Gembyung berasal dari nama salah satu gamelan Sunda yang disebit Goong, dilengkapi alat musik lainnya oleh pemain yang berjumlah lengkapnya 25 orang. Mereka terdiri atas : pemain kenting satu dan dua; pemain kemong satu dan
dua; pemain kendang katipluk; pemain kolenter; pemain gembyung satu dan dua pemain suling; dan pemain rebab; sertapemain kemong satu dan dua.
Biasanya kesenian Gembyung darn Kabupaten Majalangka ini.ditampilkan dalam acara-acara yang bernuansa religius, misalnya dalam acara pernikahan, mauludan, peresmian mesjid atau haulan seperti pernah dilaksanakan di Pesantren Benda Cirebon, dan di salah satu pesantren di Kabupaten Subang (di Pamanukan). Selain itu, pernah pula dipentaskan untuk mewakili seni tradisional Majalengka yang dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 1984 dan 1986 lalu.
Penampilan seni Gembyung diawali dengan pembacaan tawasul dan hadhoroh kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya dan para sahabatnya serta kepada para pengikutnya yang taat kepada-Nya. Kemudian tampil lagu-lagu yang materinya adalah shalawat yang bersumber dari Kitab barjanji (yaitu kitab yang ditulis Imam Barjajnji) atau yang disebut Deba, diiringi oleh musik gembyung tersebut. Pertama kali muncul seni budaya tradisional Gembyung di Kabupaten Majalengka diperkirakan sejak sebelum tahun 1930­an. Pada sekitar tahun 1970-an pernah mengalami kemandegan, tetapi atas upaya yang sungguh-sungguh dari para tokoh seni itu seperti yang dilakukan oleh H.E. Zaenal Muttagin, Dudung dan ustadz Sadeli dari Gunung Manik Kec. Talaga, termasuk pula dari dukungan Bupati Majalengka pada masa H.E. Jaelani, SH juga Bupati sekarang Hj. Tutty Hayati Anwar SH., M.Si. untuk mengeksiskan kembali seni Gembyung dengan kemasan menarik, Walaupun termasuk kelompk seni yang mempunyai akar budaya buhun (kuno), tetapi dalam perkembangannya cenderung dikemas secara dinamis oleh para seniman yang ahli di bidangnya yaitu dengan mengikuti perkembangan zaman.
Beberapa kelompok kesenian gembyung antara lain
  1. Group Laila, pimpinan Bapak Oyo, di Buninagara Bantarujeg;
  2. Panji Wulung, pimpinan Kyai Bahrudin, di Gunungmanik;
  3. Mekar Budaya Putra, pimpinan Yaya Suhaya, di Gunung Manik; ditambah dua group lainnya di Ganeas dan Salado;
  4. Miftahul Jannah, pimpinan Noyadi, di Darmalarang, Banjaran;
  5. Panca Darma, pimpinan (ping Jaenudin, di Burujuiwetan JatiwangI.


GOONG RENTENG
Kesenian ini disebut kesenian Goong Renteng atau Goong Ajeng. Kata ajeng dalam hal ini mengandung arti mempersilakan.
Kesenian ini dirintis oleh Bapak Timpuk, Kepala Desa Gintung Kecamatan Sukahaji pada tahun 1799. Sekarang nama desa ini sudah berganti menjadi Desa Bayureja.
Konon Bapak Timpuk berhubungan dengan Syeh Siti Jenar dari Cirebon, yang pada waktu itu agama Islam sudah mulai tersebar di wilayah Cirebon. Bapak Timpuk merasa tertarik untuk turut menyebarkan agama Islam di wilayahnya. Maka is mencoba membuat alat kesenian goong renteng sebagai media penyebaran agama Islam yang dilakukannya.
Setelah Bapak Timpuk meninggal pada tahun 1855, goong renteng diwariskan kepada anak cucunya, dengan pesan bahwa kelak yang harus mengrus goong ini adalah istri-istri dari anak cucu yang mendapat warisan itu. Kini usia goong itu sudah lebih dari 11 turunan, hingga jatuh kepada pemiliknya yang terakhir sekarang, yaitu. Ibu Marsiah.
Goong ini sekarang dianggap sebagai barang keramat, yang disimpan dengan balk serta setiap malam Jum'at diberi bakaran menyan clan ditaburi bunga-bunga. Setiap tanggal 13 Mulud goong dicuci dengan air kembang, dan pads malam tanggal 14 ditabuh sambil menyanyikan lagu-lagu klasik.
Jalannya pertunjukan adalah sebagai berikut
- tatalu;
- lagu Papalayon (lagu pembukaan);
- Iagu Engko;
- lagu Halang naik Pangprang;.
- lagu Oet-oetan;
- Iagu Dengkleung (lagu Penutup).
Pada acara hajatan durasi pertunj_ukan diperpanjang dan jumlah Iagunya diperbanyak. Kondisi kesenian Goong Renteng sekarang sudah sangat memprihatinkan. Untuk itu, perlu ada upaya penanganan yang serius dari pihak-pihak terkait agar kesenian ini mampu bangkit dan hidup kembali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar